SEJARAH KARINDING KLASIK (HINGGA 2010)
Oleh Kimung
Karinding konon alat musik yang telah digunakan karuhun Sunda sejak dahulu kala. Alat musik ini terbuat dari pelepah aren atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian yaitu bagian tempat memegang karinding (pancepengan), jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet ucing atau ekor kucing serta pembatas jarumnya, dan bagian ujung yang disebut panenggeul(pemukul). Jika bagian panenggeul ditabuh, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi tersebut bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan napas.
Jenis bahan dan jenis disain karinding menunjukan perbedaan usia, tempat, jenis kelamin pemakai. Karinding yang menyerupai susuk sanggul dibuat untuk perempuan, sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, agar bisa disimpan di tempat tembakau. Bahan juga menunjukkan tempat pembuatan karinding. Di Priangan Timur, misalnya, karinding menggunakan bahan bambu. Di kawasan lain di Indonesia, karinding disebut jugarinding (Yogyakarta), genggong (Bali), dunga (Sulawesi), karindang (Kalimantan)atau alat sejenis dengan bahan baja bernama jawharp di kawasan Nepal dan Eropa dan chang di Cina dengan bahan kuningan. Selain ditabuh, karinding juga ada yang dimainkan dengan cara dicolek atau disintir. Klik link ini untuk mengetahui ratusan nama waditra sejenis karinidng yang tersebar di seluruh dunia…
Berikut adalah beberapa definisi karinding yang telah dirumuskan,
1. Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat (1977:75) menyebutkan, “karinding merupakan alat musik yang terbuat dari pelepah kawung atau bambu, cara memainkannya dipegang oleh tangan kiri, ditempelkan ke mulut. Dalam hal ini mulut sebagai resonator dan pengatur tinggi rendahnya nada. Pangkal karinding dekat mulut dipukul-pukul oleh jari tangan kanan untuk menggetarkan lidah getarnya (cecet ucing), sehingga terdengarlah suara alat musik tersebut.”
2. Enoch Atmadibrata dkk (2006:114) menyebutkan, ”alat musik bernama karinding ini berbentuk lempenga kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengiris bagain tengahnya sehigga terlihat menjulur seperti lidah, yang apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.”
3. R. A. Danadibrata (2006:322) menyebutkan, “Karinding ialah nama alat pukul yang terbut dari bahan mabu atau palapah kawung yang sangat tipis; karinding dibunyikan dengan cara ditempekan ke bibir atas dan bawah seperti argol (alat musik yang berbunyi bila ditiup dan dihisap sambil digeser-geser di antara bibir atas dan bawah seperti makan jagung, sama seperti karinding dan harmonica) dan suara yang dihasilkan dari hisapan dan hembusan rongga mulut; untuk menghasilkan tinggi rendahnya nada ketika karinding sedang bergetar lidah getarnya karena hisapan tau hembusan mulut, ujung karinding sebelah kanan dipukul pelan supaya bergetarnya cepat atau lambat.”
4. Ensiklopedia Sunda menyebutkan, “Karinding adalah alat bunyi-bunyian dalam karawitan Sunda yang dibuat dari pelepah arena tau bambu, dibunyikan dengan pukulan jari tengah dengan rongga mulut sebagai resonator. Dahulu dipergunakan sebagai sarana hiburan para penggembala kerbau atau biri-biri di kampung-kampung. Di daerah Banten, karinding dipergunakan oleh remaja sebagai alat komunikasi waktu mencari kekasih. Alat ini dibunyikan di serambi rumah ketika sore hari saat bersantai setelah bekerja, para gadis yang mendengarnya biasanya mendekati para si penabuh alat itu.”
5. Buku Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat menyebutkan, “Karinding merupakan alat kesenian yang terbuat dari pohon enau atau bambu. alat ini bentuknya kecil namun bunyinya cukup nyaring. Selain nama alat, karinding juga merupakan nama seni pertunjukan yang menggunakan waditra karinding. Alat musik berupa karinding ini berbentuk lempengan kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengiris bagian tengahnya sehingga terlihat menjulur seperti lidah. Apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga mulutnya, yang berfungsi sebagai resonator.”
6. Karinding memiliki dua alternatif bahan baku yaitu bambu dan pelepah pohon aren atau kayu enau. Di Tasikmalaya, penyebutan karinding hanya digunakan kepada karinding berbahan baku pelepah aren, sedangkan yang berbahan baku bambu disebut kareng. Saat ini penyebutkan kareng jarang ditemui, mungkin karena factor kebiasaan pelafalan nama “karinding”. Jaap Kunts dalam buku Music in Java menebutkan, “Tasik district the jew’s harp is called karinding only when cut from aren wood; when made from bamboo it is there called kareng,” Penggunaan bahan pelepah aren biasanya ada di Cianjur dan Tasikmalaya, sementara itu bahan bambu biasanya di Ciwidey, Bandung, Garut, dan Sumedang.
Peneliti karinding, Giar Gardan tahun 2012 dalam karya skripsinya berjudulKelompok Musik Karinding Attack di Bandung Jawa Barat, mencatat ada dua klasifikasi waditra karinding berdasarkan jenisnya, yaitu sebagai waditra jenisideophone dan aerophone. Jenis aerophone adalah alat musik yang memiliki prinsip kerja hembusan udara, sementara jenis ideophone adalah ragam alat musik yang badannya sendiri merupakan sumber bunyinya. Karinding termasuk ke dalam jenis ideophone karena karinding dapat berbunyi ketika cecet ucingbergetar setelah ditabuh di bagian paneunggeulan. Semua bagian itu merupakan kesatuan dari badan karinding sendiri. Masuk ke dalam jenis aerophone karena karinding berbunyi menggunakan mulut sebagai resonator yang menghembuskan nafas sehingga pengaturan suara bisa dikendalikan lewat hembusan nafas. Prinsip pemikiran ini juga termuat dalam www.danmoi.com, “it is difficult to place the jew’s harp in the system of musical instruments. On the other hand it is classified as plucked idiophone, together with the musical clocks : the plucked part of the instrument sounds itself. On the other hand, the jew’s harp belongs to the aerophones.”
Sebagai ideophone, Curt Sach dan Hornbostel mengungkapkan karinding termasuk ke dalam waditra sejenis jew’s harp yang diklasifikasi ke dalam plucked ideophone atau ideophone yang bergetar dengan cara dipetik. Dalam plucked ideophone, terdapat kategori yang disebut lamellaphone, yakni waditra yang menggunakan lamella elastik dalam bentuk frame sebagai sumber bunyinya. Klasifikasi lainnya dicetuskan oleh David Reck yaitu sebagai linguaphone karena karinding menggunakan rongga mulut dan lidah sebagai sarana bunyinya.
Kehadiran karinding di masyarakat Sunda tak jauh dari kebudayaan agaris dan kedekatan mereka dengan kayu dan bambu. Dua bahan ini terutama dianggap sebagai tanaman yang memberikan manfaat pada wajah budaya Indonesia karena digunakan dalam kehidupan keseharian masyarakatnya dan bisa digunakan seluruh bagiannya. Bahan-bahan ini kemudian juga menjadi sumber daya yang melahirkan karya seni sebagai sarana pengantar upacara-upacara ritual, pergaulan, hiburan, pengungkapan nilai-nilai pandangan hidup, juga sebagai alat politik persahabatan antar bangsa. Beberapa sesepuh juga ada yang berpendapat, bentuk karinding yang dibuat para pembuat karinding awal terinspirasi dari alat bebunyian terbuat dari rumput berdaun lebar yang lazim dimainkan anak-anak gembala.
Sulit dilacak kapan pertama kali karinding hadir di masyarakat Sunda karena tak ada sumber tertulis yang meyebutkan secara pasti kapan waditra ini mulai ada. Satu tinjauan pernah dibuat Ragil Soeripto dan dimuat dalam Buletin Kebudayaan Jawa Barat, Kawit, tahun 1992, “Rachmat Ruchiyat berkesimpulan bahwa di samping berkembangnya musik bambu di Indonesia erat sekali kaitannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia tahun 1000 SM, bahkan yang jauh sebelumnya (10.000 – 5.000 SM) sudah ada suku bangsa yang telah menetap juga dari daratan Asia yang sisa-sisanya antara lain di Irian Jaya ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain menyerupai karinding (Pasundan) atau rinding atau genggong (Jawa Tengah dan Jawa Timur) atau Bali Ginggung.” Dari kutipan tersebut, waditra bambu sejenis karinding sebenarnya sudah hadir di Indonesia sejak 10.000 – 5.000 SM, namun tentang keberadaan karinding di tanah Pasundan, perlu tinjauan sejarah yang lebih khusus.”
Biasanya karinding itu dimainkan pada malam hari oleh orang-orang sambil menunggui ladangnya di hutan atau di bukit-bukit, saling bersautan antara bukit yang satu dan bukit lainnya. Alat ini ternyata bukan cuma menjadi pengusir sepi tapi juga ternyata berfungsi mengusir hama. Suara yang dihasilkan oleh karinding ternyata menghasilkan gelombang low decibel yang menyakitkan hama sehingga mereka menjauhi ladang pertanian.
Di kalangan para pemuda Tatar Sunda, karinding juga populer sebagai alat musik pergaulan. Dahulu, jika sang jejaka bertandang ke rumah sang gadis, ia akan mendemonstrasikan permainan karinding untuk memikat sang gadis. Dalam hal percintaan, karinding juga berkembang dengan kisah-kisah romantis—dan juga tragis—di belakangnya.
KARINDING DALAM NASKAH PENDAKIAN SRI AJNYANA
Catatan tertua mengenai karinding terdapat dalam naskah Sunda berjudulPendakian Sri Ajnyana. Naskah ini terdapat dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna yang ditulis oleh J. Noorduyn dan A. Teeuw (Pustaka Jaya, 2009). Dalam naskah itu ditulis,
Hurung subang di hulueun - Kacapi di kajuaran - Kari(n)ding dip ago sanding -Giringsing di pagulingan - Deung ka(m)puh pamarungkutan
Artinya :
Giwang bercahaya di ujung kepala - Kecapi di dekat tempat tidur - Karinding dipago sanding (palang dada) - Giringsing di atas tempat tidur - Dan selimut
Naskah “Pendakian Sri Ajnyana” (PSA) terdiri atas 24 lempir. Tampaknya teks di dalamnya lengkap, termasuk kolofon singkat yang ,emyatakan bahwa naskah ini ditulis pada bulan ke delapan, di mandalan Beutung Pamaringinan (di) Cisanti. Mengenai ke dua naskah kropak yang pada mulanya terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta, Noorduyn (1971:151-152) mengemukakan bahwa naskah tersebut adalah bagian dari, “himpunan kecil yang mencakup sekitar empat puluh naskah daun Sunda yang ditulis dengan pola suku kata yang kini dianggap sudah usang. Sebagian di antaranya mengangkat tema agama dan sastra zaman pra-Islam. Dalam abad lalu (maksudnya abad ke sembilan belas) naskah-naskah tersebut ditemukan di desa-desa pegunungan di Jawa Barat tempat naskah-naskah itu disimpan sebagai warisan keramat dari masa silam. Pada waktu itu, naskah-naskah itu tidak lagi menajdi bagian dari tradisi yang hidup karena tiada seorang pun yang dapat membacanya, apa lagi memahami isinya. Dalam naskah-naskah tersebut digunakan dua jenis aksara dan keduanya adalah anggota rumpun aksara yang berasal dri India, yang digunakan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu di antaranya dituliskan khusus dengan tinta pada daun nipah dan berkaitan erat dengan jenis aksara Jawa Kuna yang juga dituliskan dengan tinta pada bahan yang sama. Jenis lainnya diterakan pada daun lontar dan memperlihatkan banyak keistimewaannya sendiri, yang membuktikan adanya perkembangan khas Sunda. Tahap-tahap awal pemakaian aksara jenis ke dua ini diketahui dari beberapa prasasti di atas batu dan lempengan tembaga.”
Aksara jenis pertama yang dirujuk Noorduyn yang oleh para peneliti terdahulu disebut dengan “aksara Jawa Kuna yang hampir kwadrat”, disebut dengan “tipe aksara pra-nagari” oleh Darsa. Dia menyebutkan empat naskah yang ditulis dengan menggunakan jenis aksara tersebut (Darsa, 1997 : 14-15), pertama naskah Sunda Kuna Sang Hyang Hayu. Naskah ini diperoleh Museum Sri Baduga di Bandung dari Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya, tahun 1991 (no. 07.106), diumumkan dalam satu jilid bersama Serat Catur Bumi dengan judul Sang Hyang Raga Dewata (Tim Peneliti, 2000). Yang kedua adalah naskah tertua dalam bahasa Jawa Kuna Kuňjarakarna sebagaimana yang diumumkan pertama-tama oleh H. Kern (1922), kemudian oleh Van der Molen (1983). Naskah ke tiga adalah Serat Catur Bumi, juga berupa teks Jawa Kuna (Tim Peneliti, 2000). Sedangkan teks ke empat yang ditulis dengan aksara ini adalah Serat Děwabuda yang diumumkan oleh Ayatrohaědi (1988).
Jenis aksara ke dua yang dirujuh Noorduyn dimasukkan oleh Darsa ke dalam golongan “model aksara Sunda (kuna)”; aksara ini ditemukan dalam sejumlah prasasti (contohnya Kawali dan Batutulis), sebagaimana halnya yang terdapat dalam naskah yang teksnya memakai bahasa Sunda Kuna, misalnya ke tiga teks yang dimuat dalam buku ini, tapi juga dalam Sěwaka Darma (lihat Danasasmita dkk. 1987), Ratu Pakuan (lihat Atja 1970), Carita Parahyangan (lihat Darsa dan Ekajati 1995) dan sebagai contohnya yang paling mutakhir (dari awal abad ke delapan belas) adalah Carita Waruga Guru (Darsa 1997 : 16-20), beserta contoh-contoh dari nara sumber).
Mengenai titimangsa (waktu penulisan naskah), ketiga puisi Sunda Kuna terserbut hanya ada sedikit kepastian, mengingat ketiganya tidak mengandung kronogram atau petunjuk yang mencolok lainnya. sebegitu jauh hanya satu naskah Sunda Kuna yang ditelaah yang titimangsanya telah dipastikan, yaitu Sanghyang siksakanda ng karesian yang berasal dari tahun Śaka 1440 atau 1528 M (Atja dan Danasasmita 1981a). Namun, dalam ulasannya, Noorduyn (1971:152) mengatakan bahwa teks tersebut dalam bentuk yang kita miliki, mungkin berasal dari masa yang lebih muda. Bagaimanapun, titimangsa di sekitar abad keenambelas Masehi tampaknya merupakan anggapan meragukan sehubungan dengan ketiga puisi kita, baik menyangkut naskahnya mau pun mengacu pada Islam (kecuali tiga, yakni kata dunia dan kertas dan nama tempat Meukah) juga menunjukkan bahwa titimangsanya tidak lebih muda daripada abad keenam belas. Dua di antara naskah-naskah Jawa Kuna yang disebutkan di atas memiliki titimangsa, Serat Děwabuda suntingan Ayatrohaědi (1988) bertitimangsa Śaka 1357 atau 1435 M. ada pun teks Sang Hyang Hayu (atau Sang Hyang Raja Děwata, Tim Peneliti, 2000) diakhiri dengan kronogram panca warna catur bumi – Śaka 1455 atau 1533 M).
Naskah Sri Ajnyana isinya berhubungan juga dengan Sewaka Darma dan jugaBujangga Manik sebagaimana yang Nampak dalam uraian Pigeaud (1967-70,III:384). Ia menyebutkan bahwa naskah itu berisi “catatan Jawa-Bali perihal rungan keagamaan, yaitu pelajaran yang disampaikan oleh Sidi Ajňańa kepada putranya Cita Rasa. Nama Sidi Ajňańa menarik perhatian karena ia mengingatkan orang kepada peran Sri Ajnyana dalam teks Sunda Kuna. Namun diperlukan kajian terperinci untuk meninjau seluk beluk kesusastraan ini, termasuk kepaduan dan berbagai pertautannya.Dalam bagian pendahuluan Sanghyang Ajnyana disebut-sebut dalam hubungannya dengan keadaan nirmateri (wisěsa ni niskala) yang tak terpermanai, teks ini berbicara tentang keindahan (lemlem?) daripaleksas Sanghyang Ajnyana; para penyuntingnya menerjemahkannya menjadi “permulaan Sang Hyang Tahu”; mungkin kita harus membacanya pawekas(“wejangan”), sebagaimana baris puisi berikut ini : tutur jati pawekasna Sang Hyang Ajnyana jati wisesa, iyana sari tutur jati, nyana jati nu wisesa, iyana nu mawa saka ning bayu, sabda hidep hawitan tu (bait 9); yang dapat diartikan “wejangan hakiki yang disampaikan oleh Sang Hyang Ajnyana, hakikat tak terperi yang membawa hawa, kata, dan pikir utama”.
Puisi Sri Ajnyana dimulai dengan sedu sedan wanita yang menyesal karena dia berbuat dosa besar. Dia diajak bicara oleh seseorang yang dipanggil Sri Ajnyana yang sedang berupaya melipur laranya. Dia menjelaskan bahwa mereka harus memupus dosa (yang tampaknya berupa hubungan seksual) dengan turun dari kahyangan ke ‘tengah dunia’ (kaintar diri ti sorga, turun ka madiapada, 40-41). Wanita itu bersedia mengikutinya ke mana pun Sri Ajnyana pergi, tetapi dia tidak lagi dilibatkan dalam jalan cerita yang untuk seterusnya berpusat pada Sri Ajnyana. Dengan perasaan yang amat berduka, dia meninggalkan arasnya di kahyangan.
Turunnya tokoh utama ke bumi, yang secara geografis bertempat di Gunung Damalung (Merbabu, Jawa Tengah) ditandai dengan berbagai gelagat (50-57). Proses menjadi manusia ini dengan segala hal yang tersirat di dalamnya dituturkan sedemikian kuatnya (58-95). Dalam monolog interieur (96-155) dia mencurahkan rasa dukanya dan mengungkapkan penyesalannya atas perbuatan pada masa lalu. Dia tahu bahwa harus menanggung nasib yang berat, kecuali dia bisa menemukan jalan untuk membebaskan dirinya dari wujud duniawi.
Kemudian dia memutuskan untuk pergi ke pegunungan dan tiba di pertapaan, tempat ia bertemu dengan orang bijak (mahapandita 172) yang bersedia membantunya dalam keadaan menyiksa itu. Atas pertanyan orang besar itu, mengenai sebab musabab dia datang ke pertapaan itu, dia memohon diberi pengejaran mengenai ‘jalan keluar dari penderitaan, untuk kembali ke yang azali (atau hakikat, jati) dan meninggalkan jagat sublunar’ (179-183). Sang bijak menjelaskan padanya bahwa manusia pada dasarnya pendosa dan dia harus menghindari segala hal yang sebenarnya sudah dia sadari; untuk menemukan pembebasan dia harus mencurahkan diri dalam laku tapa (185-220).
Setelah pengajaran selesai, tokoh utama tidak hanya merasa tertolong; dia menggambarkan keadaan batinnya dalam istilah-istilah yang ekstatis, ‘wejangan-wejangan itu masuk ke dalam ragaku, sejuk dan segar seperti air suci, menembus sanubariku dan menjalari pikiranku (ajnyana)’ (226-229). Ajaran sang guru ibarat ‘sebidang pekarangan yang tersapu bersih’ (243-244), metafor untuk kejelasan dan kemurnian, yang diulangi pada bagain lain dan dara ringan dan bahagia pada sang murid disimbolisasi dengan gemerlapnya bebungaan yang dia lihat sehingga pikirannya terpulihkan (245-247). Keindahan bebungaan melambangkan kebahagiaan dan keadaan pikiran langitan di sepanjang teks. Dalam monolog panjang lainnya (248-329) tokoh utama bertopang pada permenungan yang baru didapatkannya, yang diungkapkan dengan istilah-istilah sepetrti ‘inti pengetahuan, masalah mendasar tentang makna, permata kebenaran’ (281-284). Setelah menerima ‘buah’ pengajaran dari sang guru, tokoh utama siap untuk kembali ke kahyangan.
Akhirnya utusan bernama Dewa Laksana yang datang ke pertapaan itu dan mengundang Sri Ajnyana atas nama dewa-dewa untuk menghadiri pertemuan di kahyangan (347-352). Mereka pun berangkat, ’raga mereka bercahaya bagaikan kunang-kunang’ (359). Pertama-tama mereka melewati berbagai lapisan aras langitan, kemudian harus menyeberangi titian kencana yang mengarahkannya ke jalan menuju langit. Akhirnya mereka memanjat tangga kencana di istana (kadaton) Pancamirah (lima rubi, 404). Di situ para dewa sedang mengadakan pertemuan besar.
Pokok bahasan yang dibicarakan adalah kekacauan hidup umat manusia yang tampaknya sudah tidak tertanggungkan, sebab manusia melanggar semua hukum dan aturan dan dirasuki Dewa Kala (yakni dewa kehancuran) serta kawan setannya. Kritik atas perilaku manusia itu dirumuskan secara eksplisit oleh Dewa Niskala katika ia berbicara untuk menggambarkan peran Kala yang jahat (buta Kala murka 438) bersama setan-setan yang penuh nafsu. Para dewa terganggu oleh kehidupan umat manusia yang terancam hancur.
Seusai pertemuan, tokoh utama meninjau keadaan kahyangan (464-535); pertama-tama ia mengunjungi empat kahyangan di empat wilayah, Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Di Timur, Sri Ajnyana melihat tempat berdiam Dewa Isora (Iswara, perwujudan Siwa), yang disebut Jambudrasana, tempat tujuan seluruh pertapa sejati (486). Kahyangan selatan disebut Brahmaloka; kahyangan ini adalah tempat bagi ‘orang-orang melaksanakan janjinya dan orang-orang yang membakar dupa dan kayu bakar’; rinciannya juga disebut-sebut dalamKorawāśrama (Swellengrebel 1936 : 78-79). Kahyangan berikutnya yang dia kunjungi tak diberi nama, tetap letaknya ada di wilayah barat, tempat tujuan orang-orang yang memberikan bantuan amal (dana punya). Akhirnya, kahyangan utara disebut Utaraprada; inilah tempat tujuan para pahlawan perang setelah mereka mati. Tempat ini juga dikenal sebagai Aras Utara. Tidak ada nama dewa-dewa disebut sehubungan dengan dua kahyangan terakhir, namun deskripsi terperinci mengenai keempat aras menunjukkan paralelisme dasar, dengan sejumlah variasi, yaitu keempatnya memiliki bentuk měru, tetapi mengandung perbedaan sehubungan dengan bahan-bahan yang digunakan, sejmlah besar kain, permata, ukiran menghiasi bangunan itu.
Setelah melewati tempat itu Sri Ajnyana menyusuri ‘jalan raya yang lurus’ ke langit kencana, yang disebut sorga kancana dan bumi kancana (538-539). Jalan yang dibatasi barisan pepohonan dan perdu (540-548) dan melintasi bebatuan, danau-danau serta tebing-tebing, jembatan-jembatan, dari satu tangga ke lain tangga, itu baru saja disapu dan bekas sapuannya masih terlihat (556-558). Wewangian semerbak di sepanjang jalan, yang menarik para pengembara pada rupa-rupa bunga (565-593) yang di dalamnya disebutkan lebih dari tiga puluh lima nama tetumbuhan. Setelah Sri Ajnyana naik ke langit kencana, dia menggambarkan seluruh keindahan itu, dan sekali lagi menyebutkan banyak nama bunga (602-615). Jenis dan manfaat wewangian yang menyedapkan itu diperinci (616-625), tidak mengherankan jika bunga-bunga tersebut dan aromanya memikat segala jenis kumbang dan tawon yang berdengung-dengung sehingga menciptakan alunan suara beragam alat musik (625-645).
Setelah tiba di gedung kencana selutuh kata dikerahkan oleh tokoh utama untuk menggambarkan suasana yang cerlang cemerlang itu : tidak kurang dari lima belas perumpamaan digunakan untuk mengungkapkan suasana itu (648-663). Tak pelak lagi kenangannya kembali ke masa lalu tatkala ia dikeluarkan dari kahyangan ini tempat sebelumnya ia hidup sedemikian bahagianya; dan seraya menitikkan air mata dia naik ke gedung kencana (682-683). Di situ ia bertemu dengan Puah Aci Kuning yang mengenakan busana indah. Wanita itu menyambutnya dengan ramah, menanyakan kabarnya dan alasan kekhawatiran serta bertanya adalah orang yang ingin ditemui Sri Ajnyana (710).
Dia bertanya masihkan Puah Aci Kembang tinggal di kahyangan, namun ia diberitahu jika wanta itu menghilang ke bumi dan tidak kembali. Dia pun diingatkan agar tidak memperhatikan wanita itu. dia harus bergabung dengan para penghuni langit. Puah Aci Kuning mempersilahkan Sri Ajnyana masuk dan duduk di dekatnya, sebab ada yang ingin ia sampaikan. Sri Ajnyana menolak karena ‘jangan-jangan ini akan menimbulkan akibat buruk’ (746-747). Namun wanita itu mengingatkan bahwa Sri Ajnyana tidak perlu khawatir. Sekali lagi, wanita itu mengingatkan bahwa Sri Ajnyana jangan sampai dirintangi sosok cantik di langit (754-764). Wanita itu pun bertanya kepada Sri Ajnyana mengapa umat manusia di jagat tengah begitu lalai menjalankan perintah agama, sampai-sampai tidak ada lagi orang yang mencapai kahyangan. Mereka semua diliputi dosa, membiarkan diri mereka terbuai oleh segala yang memperdaya dan tidak mau dijauhkan dari kekejian (766-786).
Kemudian Puah Aci Kuning membimbingnya ke gedung kencana; keindahan di dalamnya digambarkan dengan rincian yang bahkan lebih besar lagi jika dibandingkan dengan deskripsi sebelumnya mengenai keempat wilayah kahyangan itu (790-837). Ketika Puah Aci Kuning memintanya lagi untuk duduk di dekatnya di atas dipan, tapi Sri Ajnyana lagi-lagi menolak karena khawatir denga akibatnya. Wanita itu berkata bahwa ia hanya bermaksud menguji keteguhan moral Sri Ajnyana (860-861) yang telah menunaikan tugas dan janjinya akan selamanya beroleh pikiran jernih, sehingga niscaya dia akan kembali ke kahyangan. Puah Aci Kuning sendiri ingin menjadi teguh dalam penolakannya terhadap hasrat-hasrat duniawi (tunggal nitresna 883). Kemudian dia menasihati kembali Sri Ajnyana bahwa kejahatan melekat pada sifat dasar manusia dan hanya dengan mengikuti ajaran yang dapat membebaskan diri dari ketidaksucian dia dapat menghindari neraka dan menikmati berkah sunyi pikir (ajnyana sunia904). Di gerbang gedung kencana sang Puah inilah Sri Ajnyana melihat karinding, kacapi, giwang, dan selimut. Karinding terselip di dinding palang dada gedung kencana.
Sri Ajnyana kemudian beranjak dari situ, pergi melintasi berbagai kahyangan; dia melintasi keempat jagat (caturloka 919), kemudian jagat Meukah yang merupakan kahyangan Siak (buana Meukah 920). Dari situ dia sampai di kahyangan suci (sanghiang) Lengis. Nama beberapa penghuni jagat disebutkan : Manondari, istri Rawana tinggal di situ bersama Nilasita, istri Sugriwa yang suci, yang padanya kita mengenali Sugriwa, yakni tokoh lain yang secara menonjol hadir dalam cerita Rama Sunda Kuna. Kahyangan berikutnya disebut Sangkan Hěrang, mahligai Sanghiang Sri, yakni ‘perwujudan segala hal yang berkaitan dengan bumi (atau bersifat kebumian)’ (ngawakan kapretiwian 933). Setelah melewati tempat ini Sri Ajnyana tiba di Sari Dewata, yang tak dikenal sebagai nama langitan atau toponimi lain. nama penghuni tempat itu Wiru Mananggay, muncul dalam berbagai teks Sunda Kuna di Tatar Sunda masih dikenali sebagai ama dewi (pohaci, lihat Coolsma 1930 dan wiru sumanggay’ sesaji untuk dewi padi pada permulaan awal musim panen’, lihat Eringa 1984 : 842). Inilah mahligai wanita pertapa yang hidup selibat. Selanjutnya, ia tiba di Manarawang; nama ini terbentuk dari tarawang(artinya terang, terbuka, tembus pandang); penghuninya adalah Sanghiang Sri dan dewi Satiawati (Satyawati), tokoh yang disebutkan secara sukarela ikut mati bersama suaminya Salya di medan laga Mahabharata, atau Bharatayuda (běla). Inilah kahyangan untuk para wanita yang melakukan běla.
Setelah meninggalkan tempat-tempat di kahyangan itu, Sri Ajnyana melalui Budi Keling dan Rahina sada tiba di rahna Wengi (950-956). Nama Rahina Sada, ‘Siang Abadi”, sebelumnya muncul dalam bentuk perumpamaan (316). Di Rahina Wengi (‘Siang dan Malam’) di berjumpa dengan Puah Lakawati, yang memanggil Sri Ajnyana dengan nama ‘sang Atma Wisěsa’ (‘ruh terunggul’). Wanita itu menyambutnya dan menanyakan maksud kedatangannya. Ketika sang tamu bertanya tentang Puah Aci Kembang, ia mendapatkan jawaban yang sama dengan yang sebelumnya dia dapatkan di kahyangan, yang sebagian besar dengan kata-kata serupa (976-1004) : wanita itu sudah meninggalkan kahyangan, dia tidak perlu diperhatikan; Sri Ajnyana tidak perlu lagi terpesona olehnya dan harus ingat bahwa ‘tidak ada penderitaan seberat menjadi manusia’ (1004). Puah Lakawati mengulangi wejangan yang sebelunya diterima Sri Ajnyana (1006-1061). Sri Ajnyana mesti menghindari segala pesona beragam bentuk keindahan dan kesenangan duniawi. Hanya dengan mengendalikan raga dan menahan segala hasrat dia akan merasa nyaman dan ringan; itulah yang dimaksud denga terbebas dari ketidaksempurnaan. Sri Ajnyana harus mengikuti ’lima cara suci’ (sanghiang pancamerga) untuk mendalami ‘rahasia bertapa’ (sandi tapa) dan mencari ‘inti pengetahuan’ (sari ning ajnyana) (1036-1038). Kemudian dia akan menemukan ‘langit tertinggi’ dan pada akhirnya ‘kembali ke azali’ serta mencapai ‘inti ketiadaan’ (jati tan hana 1057).
Setelah itu Atma Wisěsa sebagaimana kini ia disebut oleh pencerita pula, beranjak dari kahyangan dan turun ke jagat tengah untuk enuju ke pertapaan Mandala Singkal; di sini ia bertapa sehubungan dengan ajaran-ajaran yang telah ia dapatkan dari Puah Aci Kuning, Lakawati, Wiru Mananggay, singkatnya seluruh ajaran dari sosok-sosok langitan (1070-1083). Teks ini dipungkas dengan cara menjelaskan bahwa tiba-tiba seluruh dewa turun ke bumi untuk menjadi manusia, bergabung dengan manusia dan berdiam di jagat tengah, yakni ‘Putera Bumi’ (nya puah tanah dunia 1087).
Setelah naskah Pendakian Sri Ajnyana, penulis belum lagi menemukan naskah lain yang menyebutkan karinding. Beberapa keterangan mengenai karinding terungkap melalui cerita lisan yang tersebar di seluruh Priangan dalam kisah yang berbeda-beda.
credit: kelaskarinding.tumblr.com/post/.../sejarah-karinding-klasik-hingga-2010
credit: kelaskarinding.tumblr.com/post/.../sejarah-karinding-klasik-hingga-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar